Posted in Uncategorized

Melahirkan Anak Kelima Tanpa Drama

Judul di atas tidak salah, benar anak kelima. Sebanyak itu anakku. Alhamdulillah.

Setelah melahirkan Azam 11 tahun lalu, lalu disusul adiknya, Azkhan, 6 tahun kemudian, saya kembali hamil anak ketiga dan keempat. Yang qodarullah putra ketiga dan keempat ini meninggal sebelum dilahirkan. Insya Allah jadi anak-anak yang menyongsong kami di akhirat kelak. Amin.

Lalu, anak kami yang kelima adalah seorang putri yang Allah hadirkan dengan indah. Bisa dibilang, kondisi fisik saya paling drop saat hamil kelima ini. Sakit di bagian perut membuat mobilitas terbatas. Jalan kaki sedikit saja sudah sakit di bagian bawah.

Dokter bilang itu wajar. Ditambah lagi Hb saya rendah. Jadi sering lemes dan pusing. Di usia tujuh bulan, sempat mengalami nyeri hebat seperti akan melahirkan. Saat ke SpOG ternyata plasenta Previa. Saya diminta istirahat total.

Namun, justru di kehamilan ini, saya sangat jarang izin kecuali darurat atas petunjuk dokter. Hampir setiap hari kerja masuk kantor. Entah bagaimana, ada perasaan mungkin saya tidak akan selamat saat persalinan. Wallahu a’lam bagaimana perasaan seperti itu bisa hadir.

Bersyukurnya, ayahnya anak-anak sangat siaga. Yang biasanya kesana kemari nyupir sendiri, sekarang dikurangi. Selagi bisa dianter ya dianter. Belanja juga lebih sering beliau yang belanja. Saya banyak beraktivitas di ranah yang tidak terlalu memforsir fisik.

HPL bayi 12 Desember. Namun, pengalaman kelahiran sebelumnya yang selalu mundur tepat 10 hari, maka saya feeling bayi ini pun akan mundur. Karena posisinya sedang akhir tahun dan masih banyak hal yang perlu saya selesaikan sebelum cuti, maka saya berkomitmen untuk menyelesaikan tugas saya dulu. Maksimal hingga Senin 09 Desember 2019.

Pagi hari Senin itu, badan saya sudah lemas. Bawaannya nggak pengen kemana-mana. Namun, mengingat hari sebelumnya ada sp2d yang keluar, dan saya harus pencairan terakhir, saya putuskan tetap ke kantor. Menyelesaikan semua tagihan.

Mengetahui saya tidak dalam kondisi prima, suami menawarkan ikut mengantar. Beliau bilang, nanti saat duhur, dari sekolah beliau akan ke kantor bersama anak-anak untuk menemani saya. Saya setuju.

Siang itu, saya masih di kantor. Sholat duhur di ruangan. Lalu, pukul 13.30 saya bilang ke suami perut mulai terasa tidak nyaman. Suami mengajak pulang, namun saya menolak. Feeling saya, beberapa jam lagi saya akan lahiran. Soalnya meski belum ada kontraksi namun dorongan di perut sangat terasa. Saya pikir, mending di sini dulu biar lebih dekat ke Mitra, rumah sakit yang jadi rencana kelahiran kami. Tinggal nanti pulang kantor periksa langsung ke sana. Toh barang bawaan sudah lama ada di bagasi mobil.

Pukul 14.00 suami mengajak minum air kelapa muda di depan Watu Belah. Sambil makan siang. Biar kuat kata beliau. Nah, di titik itu akhirnya kontraksi beneran datang. Sambil minum kelapa muda saya sambil melihat jam. Menghitung per berapa menit kontraksi terjadi. Sayangnya masih jauh. Saya juga menghubungi anak dari sahabat saya yang seorang bidan. Meminta petunjuk harus apa di posisi itu.

Saya disarankan cek bukaan saja langsung ke IGD rumah sakit. Kami pun menurut, sekitar pukul 14.30 beranjak ke rumah sakit yang jaraknya memang tidak terlalu jauh.

Ndilalah, setelah sampai di pelataran parkir rumah sakit, kaca mobil di bagian supir yang tadi diturunkan saat mengambil tiket parkir, ternyata tidak bisa dinaikkan. Kacanya merosot begitu saja. Macet tidak bisa ditutup.

Kami tentu panik. Kalau misal saya jadi lahiran, tentu mobil ini akan ada di rumah sakit. Lah, kalau jendela supirnya tidak tertutup bukankah itu bahaya?

Kami berpandangan sebelum entah siapa yang mengusulkan, kami memutuskan putar balik menuju bengkel.

Karena saya belum tahu posisi saya sudah bukaan atau belum, kalau sudah pun bukaan berapa juga masih belum paham, dan yang lebih penting rasa sakit dari kontraksi yang saya rasakan masih bisa ditahan, saya yakinkan suami untuk tetap ke bengkel. Dari pada nanti nggak tenang mikirin itu.

Di bengkel, ternyata harus ditinggal. Bisa 3 jam pengerjaannya kata mereka. Saya bilang,

“posisi saya mau lahiran pak. Ada cara cepat agar bisa nutup dulu nggak?”

“Kapan lahirannya, Bu?” Mereka balik tanya

“Belum tahu. Tapi sekarang lagi mules!”

Dua orang yang bertanya itu melongo.

“Nggak kelihatan kesakitan soalnya, Bu. Yaudah kawat jendela nya kita Imey dulu aja ya, asal nutup dulu.” Mereka bergegas

Kami mengiyakan. Kisaran tiga puluh menit, mereka selesai. Kami membayar dan segera menuju rumah sakit kembali.

Di perjalanan, rasa sakit mulai bertubi. Saya tak henti berdzikir. Sambil suami bantu menenangkan.

Mobil berhenti tepat di depan IGD. Saya berjalan turun. Seperti di sinetron, seorang ibu tetiba mendekat dan menuntun saya. Tentu saja saya kaget. Lebih kaget lagi ternyata beliau adalah Bu haji I’ah. Orang yang memang sudah seperti ibu saya sendiri. Tapi kan saya nggak ngabarin beliau, kok ada di sini? Pas di depan IGD pula seperti menyambut.

Ternyata, beliau kebetulan sedang menunggu keponakan yang kecelakaan di Indramayu. Pasiennya sendiri masih dalam perjalanan. Saat menunggu itu, beliau melihat mobil saya melintas di depan beliau. Beliau mengaku kaget, saya juga. Hehe…

Rejeki memang sudah diatur. Alhamdulillah saya jadi ada teman. Saya memang sengaja baru mau mengabari keluarga setelah diperiksa. Agar mereka tak perlu repot karena kelemaan menunggui saya. Insya Allah selagi masih bisa kami atasi sendiri, sebisa mungkin mengurangi untuk merepotkan orang lain.

Ditemani Bu haji, saya pun masuk. Masih jalan kaki. Dianamnesa lalu diarahkan ke ruang kebidanan untuk cek dalam. Sebelum cek, tiba-tiba saya merasa pengen pipis. Saya pun izin ke toilet dulu dituntun Bu haji.

Saat di toilet itu saya melihat ada percik darah di dalaman. Karena hanya sedikit, saya tidak terlalu panik. Hanya saja, saat terkena air, kaki rasanya seperti tersiram es. Sampai agak bergetar rasanya. Segera setelah selesai hajat saya kembali ke brankar. Bersegera menutup kaki dengan selimut agar lebih hangat. Saya merasa kondisi saya sudah mulai tidak baik-baik saja. Sambil menunggu perawat bidan memeriksa, saya kembali memperbanyak istighfar.

Budanpun datang. Saya bersiap. Beliau akan melakukan pemeriksaan dalam. Sesaat setelah mengecek, saya melihat beliau buru-buru melepas sarung tangan. Sret sret beberes dan menarik brankar saya.

Melihat beliau tergesa saya dan Bu haji kompak bertanya, “ada apa?”

Rupanya, sudah bukaan 8 mau 9. Kepala bayi sudah dekat. Kata beliau.

Suami saya yang masih di ruang registrasi segera dikabari. Beliau diminta menyusul setelah beres.

Di titik itu, entah sugesti atau apa, baru saya merasakan sakit yang hebat. Sepanjang perjalanan dari IGD ke ruang bersalin, saya ikhlaskan rasa yang mendera. Saya refleksikan dengan sholawat dan istighfar.

Di ruang tindakan, saya miring ke kiri sambil terus istighfar dan sholawat setiap kali kontraksi datang.

Akhirnya suami saya datang. Beliau masuk sebentar sebelum keluar lagi atas permintaan perawat, saya kurang tahu diminta ngurus apa.

Selang beberapa menit, saya merasa mulesnya sudah tidak tertahankan. Rasanya ingin ngeden. Saya tanya perawat, apakah saya sudah boleh mengejan?

Rupanya, itu justru yang sedang mereka tunggu.

“Boleh, Bu. Hayo. “

Saya mulai mengikuti instruksi. Seorang perawat bertanya, apakah suami saya perlu dipanggilkan atau tidak.

Saya menolak. Tidak perlu. Minta tolong untuk dimintakan doa saja ke beliau, saya bilang.

Bagaimana lagi, kalau ada suami di dalam, saya khawatir jadi lemah karena manja. Wallahu a’lam. Yang penting beliau sudah ikhlas ridho pada saya.

Hitungan menit, seorang bayi lucu pun hadir atas izin Allah. Tangisnya memang tidak sekencang dua kakaknya. Namun terasa membuncahkan rasa. Suami saya masuk tidak lama kemudian. Wajah beliau jangan tanya, haru sekali. Berulang kali beliau lafadzkan hamdalah. Sebelum kemudian mengadzani sikecil yang sudah selesai menangis.

“Dedenya mirip Azam, Umi.” Beliau mengelus kepala saya. Posisi saya masih belum bergerak. Masih dalam penanganan bidan yang tampak panik. Rupanya ada selaput plasenta yang tertinggal di rahim. Berulangkali perut saya ditekan, darah pun mbrol mbrol keluar, namun mereka belum mendapat yang dicari. Hingga beberapa kali bidan mengecek bagian dalam.

Jangan tanya sakitnya, luar biasa sakit di proses itu. Namun, saya lebih takut kalau ada apa-apa. Maka, saya ikuti saja prosesnya. Setelah beberapa puluh menit, Alhamdulillah mereka berhasil mendapat yang dicari. Saya lega. Kemudian saya dijahit. Ini pertama kalinya dijahit dalam kondisi dibius. Alhamdulillah. Jauh sekali rasanya dengan kelahiran dua bayi sebelum nya yang dijahit tanpa bius. Kebayang kan rasanya. Alhamdulillah kali ini tidak terlalu merasakan sakit nya dijahit.

Bisa dibilang, kelahiran Aylin atas izin Allah sangat dimudahkan. Saya langsung segar kembali sesaat setelah melahirkan. Beberapa waktu kemudian orang tua saya datang. Mereka tentu gembira karena cucunya sudah lahir. Alhamdulillah Alhamdulillah.

Doakan ya, semoga Aylin dan kakak-kakaknya menjadi anak yang baik, sukses dan bahagia dunia akhirat. Amin….

Author:

Ibu rumah tangga yang insya Allah selalu mau belajar untuk selalu menjadi lebih baik dari masa ke masa. Mengikuti perintah Allah untuk 'Wal tandzur nafsun ma qoddamat lighodd'. Jika suatu saat teman-teman membaca blog ini dalam kondisi saya sudah berpulang ke rahmatullah, mohon keikhlasan untuk berkirim doa agar Allah berkenan menghapus dosa-dosa saya semasa hidup

Leave a comment